BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pancasila adalah dasar
filsafat negara Republik Indonesia yang secara resmi disahkan oleh PPKI pada
tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, diundangkan
dalam Berita Republik Indonesia tahun II No.7 bersama-sama batang tubuh UUD
1945. Sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia, Pancasila mengalami
berbagai macam interpretasi dan manipulasi politik. Karena hal tersebut
Pancasila tidak lagi diletakkan sebagai dasar filsafat serta pandangan hidup
bangsa dan negara Indonesia melainkan direduksi, dibatasi dan dimanipulasi demi
kepentingan politik penguasa pada saat itu.
Pancasila sebagai paradigma dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai sistem
nilai acuan, kerangka-acuan berpikir, pola-acuan berpikir; atau jelasnya
sebagaisistem nilai yang dijadikan kerangka landasan, kerangka cara, dan
sekaligus kerangka arah/tujuan bagi ‘yang menyandangnya. Yang menyandangnya itu
di antaranya: (a) bidang politik, (b) bidang ekonomi, (c) bidang sosial budaya,
(d) bidang hukum, (e) bidang kehidupan antar umat beragama, Memahami asal mula
Pancasila.
Lembaga Pengkajian dan
Pengembangan Kehidupan Bernegara (LPPKB) telah berhasil menyusun Pedoman Umum
Implementasi Pancasila Dalam Kehidupan Bernegara, namun masih perlu dirumuskan
ke dalam Paradigma yang secara operasional dapat digunakan sebagai pedoman dan
model baik dalam merumuskan kebijakan publik maupun sebagai acuan kritik, untuk
menentukan mana yang sesuai atau yang tidak sesuai dengan Pancasila.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Paradigma secara luas?
1. Apa yang dimaksud Pancasila sebagai
paradigma pembangunan?
2. Apa yang dimaksud Pancasila sebagai
Paradigma Pembangunan Politik?
3. Bagaimanakah peran Pancasila Sebagai
Pembangunan Ekonomi?
6. Bagaimanakah peran Pancasila Sebagai
Pembangunan Sosial Budaya?
7. Bagaimanakah Paradigma Kehidupan Bangsa
Indonesia?
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengrtian Paradigma secara
luas
2. Untuk mengetahui Pancasila sebagai
paradigma pembangunan
3. Untuk mengetahui Pancasila sebagai
Paradigma Pembangunan Politik
4. Untuk mengetahui Pancasila Sebagai
Pembangunan Ekonomi
5. Untuk mengetahui Pancasila Sebagai
Pembangunan Sosial Budaya
6. Untuk mengetahui Paradigma Kehidupan Bangsa
Indonesia
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Paradigma dalam arti
luas
Paradigma secara
sederhana dapat diartikan sebagai kerangka pikir untuk melihat suatu
permasalahan. Pengertian paradigma berkembang dari definisi paradigma
pengetahuan yang dikembangkan oleh Thomas Kuhn dalam rangka menjelaskan cara
kerja dan mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya ilmu-ilmu alam. Paradigma
pengetahuan merupakan perspektif intelektual yang dalam kondisi normal
memberikan pedoman kerja terhadap ilmuwan yang membentuk ‘masyarakat ilmiah’
dalam disiplin tertentu.[1]
Robert Winslow
menambahkan pengertian paradigma ilmiah sebagai gambaran intelektual yang
daripadanya dapat ditentukan suatu subjek kajian. Perspektif intelektual inilah
yang kemudian akan membentuk ilmu pengetahuan normal (normal science) yang
mendasari pembentukan kerangka teoritis terhadap kajian-kajian ilmiah.
George Ritzer
memberikan pengertian paradigma sebagai gambaran fundamental mengenai subjek
ilmu pengetahuan. Paradigma memberikan batasan mengenai apa yang harus dikaji,
pertanyaan yang harus diajukan, bagaimana harus dijawab dan aturan-aturan yang
harus diikuti dalam memahami jawaban yang diperoleh.
Paradigma ialah unit
konsensus yang amat luas dalam ilmu pengetahuan dan dipakai untuk melakukan
pemilahan masyarakat ilmu pengetahuan (sub-masyarakat) yang satu dengan
masyarakat pengetahuan yang lain. Paradigma membantu para ilmuwan dan teoritisi
intelektual untuk memandu, mengintegrasikan dan menafsirkan karya mereka agar
terhindar dari penciptaan informasi yang acak dan tidak beraturan.
Menurut Kuhn, tidak ada
sejarah kehidupan yang dapat diinterpretasikan tanpa sekurang-kurangnya
beberapa bentuk teori dan keyakinan metodologik implicit yang berkaitan satu
sama lain yang memungkinkan untuk melakukan seleksi, evaluasi dan bersikap
kritis. Meskipun terlihat terlalu bernuansa akademis, sebenarnya paradigma
tidak menjadi bahan kaji atau dominasi para kaum intelektual untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan, paradigma juga mungkin diterapkan pada
ranah-ranah kehidupan sosial yang lain. Sebenarnya Kuhn mendapatkan gagasannya
mengenai paradigma tersebut dari dunia sejarah dan sastra yang kemudian
diterapkannya ke dalam domain ilmu-ilmu alam yang pada waktu itu dianggap
sebagai satu-satunya ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah. Sedangkan cabang
ilmu pengetahuan yang sekarang telah dianggap sebagai ilmu, dulunya hanya
dianggap sebagai seni saja misalnya sejarah, sastra, dan politik.
2.2 Pancasila sebagai Paradigma
Pembangunan
Untuk mencapai tujuan hidup bermasyarakat
berbangsa dan bernegara Indonesia melaksanakan pembangunan nasional. Hal ini
sebagai perwujudan praksis dalam meningkatkan harkat dan martabatnya. Secara
filosofis hakikat kedudukan Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional
mengandung suatu konsekuensi bahwa dalam segala aspek pembangunan nasional kita
harus mendasarkan pada hakikat nilai-nilai pada sila-sila Pancasila.
Hal ini sesuai dengan
kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia, sedangkan
negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia maka tidak
berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur penyelenggaraan
bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.
Nilai-nilai dasar
Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia menurut
Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis
tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain:
a. susunan kodrat
manusia terdiri atas jiwa dan raga
b. sifat kodrat manusia
sebagai individu sekaligus sosial
c. kedudukan kodrat
manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan.
Berdasarkan itu,
pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat
manusia yang meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan.
Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan manusia secara
totalitas.
Pembangunan sosial
harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara keseluruhan. Oleh
karena itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup seluruh
aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial
budaya, dan pertahanan keamanan.
2.3 Pancasila sebagai Paradigma
Pembangunan Politik
Manusia Indonesia
selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan
sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan
politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia.
Sistem politik
Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan
kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma
adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter. Berdasar hal itu, sistem
politik Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV Pancasila).
Pengembangan
selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila
pada pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia
dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral
kerakyatan, dan moral keadilan.
Perilaku politik, baik
dari warga negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral
tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral.
Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial politik diartikan bahwa
Pancasila bersifat sosial-politik bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin
diwujudkan dengan menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk
implementasinya dapat dilihat secara berurutan-terbalik:
· Penerapan dan pelaksanaan
keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya, agama, dan ekonomi dalam kehidupan
sehari-hari
· Mementingkan kepentingan
rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan keputusan
Melaksanakan keadilan sosial
dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan persatuan.
Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil
dan beradab.
Di era globalisasi
informasi seperti sekarang ini, implementasi tersebut perlu direkonstruksi
kedalam pewujudan masyarakat-warga (civil society) yang mencakup masyarakat
tradisional (berbagai asal etnik, agama, dan golongan), masyarakat industrial,
dan masyarakat purna industrial. Dengan demikian, nilai-nilai sosial politik
yang dijadikan moral baru masyarakat informasi adalah:
1. Nilai toleransi
2. Nilai transparansi
hukum dan kelembagaan
3. Nilai kejujuran dan
komitmen (tindakan sesuai dengan kata)
4. Bermoral berdasarkan
konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3)
Dapat disimpulkan bahwa
pengembangan politik negara terutama dalam proses reformasi dewasa ini harus
mendasarkan pada moralitas sebagaimana tertuang dalam sila-sila Pancasila
sehingga, praktik-praktik yang menghalalkan segala cara dengan memfitnah,
memprovokasi menghasut rakyat yang tidak berdosa untuk diadu domba harus segera
diakhiri.
2.4 Pancasila Sebagai Pembangunan Ekonomi
Sesuai dengan paradigma
pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi
berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi
harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila I Pancasila) dan
kemanusiaan ( sila II Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan pada
moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang
berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia, baik selaku
makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk tuhan.
Sistem ekonomi yang
berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya
menguntungkan
individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian
juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak mengakui
kepemilikan individu. Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan
manusia sebagai subjek. Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan
menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat
secara keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem
ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga
tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan.
Pembangunan ekonomi
harus mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli
dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan,
penderitaan, dan kesengsaraan warga negara. Pancasila sebagai paradigma
pengembangan ekonomi lebih mengacu pada Sila Keempat Pancasila; sementara
pengembangan ekonomi lebih mengacu pada pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia.
Dengan demikian subjudul ini menunjuk pada pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau
pembangunan Demokrasi Ekonomi atau pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau
Sistem Ekonomi Pancasila.
Dalam Ekonomi
Kerakyatan, politik/kebijakan ekonomi harus untuk sebesarbesar
kemakmuran/kesejahteraan rakyat yang harus mampu mewujudkan perekonomian
nasional yang lebih berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat (tidak lagi yang
seperti selama Orde Baru yang telah berpihak pada ekonomi besar/konglomerat).
Politik Ekonomi Kerakyatan yang lebih memberikan kesempatan, dukungan, dan
pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup koperasi, usaha kecil, dan usaha menengah
sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional.
Oleh sebab itu
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Bangun perusahaan yang sesuai dengan ini ialah koperasi. Ekonomi Kerakyatan
akan mampu mengembangkan program-program kongkrit pemerintah daerah di era
otonomi daerah yang lebih mandiri dan lebih mampu mewujudkan keadilan dan
pemerataan pembangunan daerah.
Dengan demikian,
Ekonomi Kerakyatan akan mampu memberdayakan daerah/rakyat dalam berekonomi,
sehingga lebih adil, demokratis, transparan, dan partisipatif. Dalam
Ekonomi Kerakyatan,
Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis berperanan memaksakan pematuhan
peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau meningkatkan kepastian
hukum.
2.5 Pancasila Sebagai Pembangunan Sosial Budaya
Dalam pembangunan pengembangan
aspek sosial budaya hendaknya didasarkan atas sistem nilai yang sesuai dengan
nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Pancasila
mendasarkan pada nilai yang bersumber
pada harkat dan martabat manusia sebagai makhlukyang berbudaya. Pancasila juga
merupakan sumber normatif bagi peningkatan humanisasi dalam bidang sosial
budaya.
Pancasila pada
hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat
dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam
sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial
budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi
manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan
manusia-manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan
dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab.
Manusia tidak cukup
sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat
kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo
menjadi human.
Berdasarkan sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan
atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di
seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai
bangsa.
Perlu ada pengakuan dan
penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa
Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa.
Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan,
kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial. Paradigma-baru dalam
pembangunan nasional berupa paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dalam
perencanaan dan pelaksanaannya perlu diselenggarakan dengan menghormati hak
budaya komuniti-komuniti yang terlibat, di samping hak negara untuk mengatur
kehidupan berbangsa dan hak asasi individu secara berimbang (Sila Kedua). Hak
budaya komuniti dapat sebagai perantara/penghubung/penengah antara hak negara
dan hak asasi individu. Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang
sentralistik dan yang mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman
kebudayaan Indonesia.
Dengan demikian, era
otonomi daerah tidak akan mengarah pada otonomi suku bangsa tetapi justru akan
memadukan pembangunan lokal/daerah dengan pembangunan regional dan pembangunan
nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan menjamin keseimbangan dan kemerataan
(Sila Kelima) dalam rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang akan
sanggup menegakan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga).
Apabila dicermati,
sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai puncak-puncak
kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan - kebudayaan di
daerah:
(1) Sila Pertama,
menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun golongan sosial dan komuniti
setempat di Indonesia
yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
(2) Sila Kedua,
merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara
Indonesia tanpa
membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya;
(3) Sila Ketiga,
mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk
di kepulauan nusantara
untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang berdaulat;
(4) Sila Keempat,
merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat
majemuk Indonesia untuk
melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan
untuk mengendalikan
nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan;
(5) Sila Kelima, betapa
nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan
semangat perjuangan
bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikutserta
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial.
2.6 Pancasila Sebagai Paradigma
Pembangunan Hukum
Salah satu tujuan
bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab
tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara
keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah
mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan
keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta
(sishankamrata).
Sistem pertahanan yang
bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional
lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan
secara total terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan
negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas hak
dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Sistem ini pada
dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat
(individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara
dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan
telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002
tentang pertahanan Negara.
Dalam undang-undang
tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan
pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945. Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah
konstitusi, yang di dalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok materi-muatan
konstitusi, yaitu:
(1) Adanya perlindungan
terhadap HAM,
(2) Adanya susunan
ketatanegaraan
negara yang mendasar, dan
(3) Adanya pembagian
dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.
Sesuai dengan UUD 1945,
yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila, Pembukaan UUD 1945 merupakan
bagian dari UUD 1945 atau merupakan bagian dari hukum positif. Dalam kedudukan
yang demikian, ia mengandung segi positif dan segi negatif. Segi positifnya,
Pancasila dapat dipaksakan berlakunya (oleh negara); segi negatifnya, Pembukaan
dapat diubah oleh MPR sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Hukum tertulis
seperti UUD termasuk perubahannya, demikian juga UU dan peraturan
perundang-undangan lainnya, harus mengacu pada dasar negara (sila - sila
Pancasila dasar negara).
Dalam kaitannya dengan
‘Pancasila sebagai paradigma pengembangan hukum’, hukum (baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis) yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh
bertentangan dengan sila-sila:
1.
Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.
Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.
Persatuan Indonesia,
4.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
5.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian,
substansi hukum yang dikembangkan harus merupakan perwujudan atau penjabaran
sila-sila yang terkandung dalam Pancasila.
Artinya, substansi
produk hukum merupakan karakter produk hukum responsif (untuk kepentingan
rakyat dan merupakan perwujuan aspirasi rakyat). Pancasila Sebagai Paradigma
Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa Indonesia sejak dulu dikenal sebagai
bangsa yang ramah dan santun, bahkan predikat ini menjadi cermin kepribadian
bangsa kita di mata dunia internasional.
Indonesia adalah Negara
yang majemuk, bhinneka dan plural. Indonesia terdiri dari beberapa suku, etnis,
bahasa dan agama namun terjalin kerja bersama guna meraih dan mengisi
kemerdekaan Republik Indonesia kita. Namun akhir-akhir ini keramahan kita mulai
dipertanyakan oleh banyak kalangan karena ada beberapa kasus kekerasana yang
bernuansa Agama. Ketika bicara peristiwa yang terjadi di Indonesia hampir pasti
semuanya melibatkan umat muslim, hal ini karena mayoritas penduduk Indonesia
beragama Islam. Masyarakat muslim di Indonesia memang terdapat beberapa aliran
yang tidak terkoordinir, sehingga apapun yang diperbuat oleh umat Islam menurut
sebagian umat non muslim mereka seakan-seakan merefresentasikan umat muslim.
Paradigma toleransi
antar umat beragama guna terciptanya kerukunan umat beragama perspektif Piagam
Madinah pada intinya adalah seperti berikut:
1. Semua umat Islam, meskipun terdiri dari
banyak suku merupakan satu
komunitas (ummatan
wahidah).
2. Hubungan antara sesama anggota komunitas
Islam dan antara komunitas
3. Islam dan komunitas lain didasarkan atas
prinsip-prinsi:
a. Bertentangga yang
baik
b. Saling membantu
dalam menghadapi musuh bersama
c. Membela mereka yang
teraniaya
d. Saling menasehati
e. Menghormati
kebebasan beragama.
Lima prinsip tersebut
mengisyaratkan:
1) Persamaan hak dan
kewajiban antara sesama warga negara tanpa diskriminasi yang
didasarkan atas suku
dan agama;
2) pemupukan semangat
persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah
bersama serta saling
membantu dalam menghadapi musuh bersama. Dalam “Analisis dan
Interpretasi Sosiologis
dari Agama” (Ronald Robertson, ed.)
Hal ini didasarkan pada
postulat bahwa homogenitas agama merupakan kondisi kesetabilan politik. Sebab
bila kepercayaan yang berlawanan bicara mengenai nilai-nilai tertinggi
(ultimate value) dan masuk ke arena politik, maka pertikaian akan mulai dan
semakin jauh dari kompromi.
Dalam beberapa tahap
dan kesempatan masyarakat Indonesia yang sejak semula bercirikan majemuk banyak
kita temukan upaya masyarakat yang mencoba untuk membina kerunan antar
masayarakat. Lahirnya lembaga-lembaga kehidupan sosial budaya seperti “Pela” di
Maluku, “Mapalus” di Sulawesi Utara, “Rumah Bentang” di Kalimantan Tengah dan
“Marga” di Tapanuli, Sumatera Utara, merupakan bukti-bukti kerukunan umat
beragama dalam masyarakat.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari makalah ini dapat
disimpulkan bahwa Pancasila sebagai paradigma mempunyai kaitan yang erat dengan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karena Pancasila mempunyai
peran yang sangat penting dalam berbagai bidang seperti dalam bidang hukum,
ekonomi, sosial budaya, dan juga pembangunan
Pancasila sebagai
paradigma bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ini dimaksudkan untuk
dipergunakan sebagai acuan setiap warganegara utamanya para penyelenggara
negara dan pemerintahan dalam menentukan kebijakan, melaksanakan kegiatan dan
mengadakan evaluasi hasilnya serta dalam menghadapi berbagai dinamika perubahan.
Paradigma Kehidupan Bangsa Indonesia ini akan dikembangkan lebih lanjut dalam
bentuk yang lebih rinci sehingga akan memudahkan bagi imple- mentasinya
3.2
Saran
Sebagai warga negara yang berdasar pada Pancasila, diharapkan mampu memahami serta dapat mengaplikasikan Pancasila dalam kehidupan baik diri, keluarga, maupun masyarakat sekitar. Sebagai upaya dalam penegakan kehidupan pasca reformasi kita dapat menyikapi segala sesuatu dengan penuh pertimbangan dan bertindak secara dewasa.
Sebagai suatu pemikiran yang memuat pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah, manusia, masyarakat, recht dan negara Indonesia, yang bersumber dari kebudayaan Indonesia yang digali dan diambil dari kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakat kita sendiri. Alangkah baiknya jika masih tetap menggunakan dan mempertahankannya sebagai nilai dasar sebagai ciri khas kita sebagai suatu bangsa. Tanpa takut untuk mengembangkannya secara dimamis sesuai dengan perkembangan jaman.
Refrensi
(12 september 2013 )